17 September 2016

10 Kasus Pencurian Seni Terbesar Abad ke-20 (Bagian I)

Pencurian Mona Lisa dari Museum Louvre di Paris pada 1911 dianggap sebagai pencurian seni besar pertama abad ke-20. Sejak itu, ribuan karya seni, besar maupun kecil, hilang dicuri baik sebagai akibat dari ulah pencuri profesional maupun sebagai akibat dari perang.

Walaupun sebagian besar curian berhasil ditemukan kembali, banyak yang hingga kini masih raib. Hal itu bisa jadi menandakan betapa tidak bertanggung jawabnya ulah oknum-oknum kolektor tertentu ataupun betapa sulitnya pencuri menemukan pembeli.

Mungkin karena gabungan faktor kenekatan, uang dan keindahan, tetapi cerita pencurian seni acap diangkat ke layar lebar maupun ke halaman buku. Contoh, edisi bahasa Indonesia Vals beeld karya novelis Belanda Elvin Post yang akan terbit dari penerbit Pionir Books dengan judul Palsu, yang diilhami kisah nyata.

Berikut bagian pertama sepuluh kasus pencurian seni terbesar dunia abad ke-20 versi Forbes.com:

1. Inggris Raya: Agustus 1961

'Potret Adipati Wellington' karya Goya.
Dicuri oleh... Robin Hood.
Pada 1961, kolektor kaya raya Charles Wrightsman membeli lukisan Goya berjudul Potret Adipati Wellington seharga $ 392.000 dan dia berencana memboyongnya ke negara asal dia, Amerika Serikat. Begitu mengetahui niatnya tersebut masyarakat Inggris Raya merajuk sampai-sampai pemerintah memutuskan untuk membeli lukisan itu dengan harga beli tadi. Belum sampai tiga pekan menggantung di museum National Gallery, London, lukisan dicuri. Pelakunya menuntut tebusan sebesar harga lukisan yang, menurut pengakuannya, akan dia sumbangkan sebagai derma. Pemerintah bergeming.

Pada 1965, pencurinya mengirimkan sebuah nomor pengambilan barang kepada harian Daily Mirror di London dan pihak kepolisian menjemput lukisan itu di tempat penitipan bagasi sebuah stasiun kereta api. Enam pekan kemudian, pencurinya, yang bernama Kempton Bunton dan berprofesi sebagai pengemudi bus, menyerahkan diri. Dia berencana menggunakan tembusan untuk membayar langganan TV bagi mereka yang tidak berpunya. (Ternyata.) Bunton diganjar tiga bulan hukuman penjara.

2. Italia: Februari 1975

'Dera Kristus' karya Piero della Francesco.
Dipotong ke luar dari bingkai.
Italia, gudangnya seni yang ternyata juga menjadi rumah sejumlah mencit nakal. Ketika dua lukisan karya Piero della Francesco––Dera Kristus dan Madona Senigallia––dan sebuah lukisan karya Raphael––Si Bisu––dipotong ke luar dari bingkai dan dicuri dari Istana Keadipatian, Urbino, aksi itu dijuluki 'Kejahatan Seni Abad Ini'.

Tindak pidana tersebut murni bermotif uang. Para pelakunya kriminalis setempat yang berencana menjual curian mereka ke pasar internasional. Akan tetapi, seperti yang juga bakal didapati oleh pencuri seni lain sesudah mereka, bukanlah perkara mudah melego adikarya yang sudah langganan direproduksi oleh orang. Pada Maret 1976, ketiga lukisan itu ditemukan kembali tanpa kekurangan apa pun di Locarno, Swiss.

3. Prancis: November 1985

'Impresi, Soleil Levant' karya Monet.
Ulah... mafia Jepang?
Pencurian sembilan lukisan, termasuk Orang Mandi karya Renoir dan Impresi, Soleil Levant karya Monet, dari Museum Marmottan, Paris, berlangsung pada suatu Minggu. Pada awalnya, pihak kepolisian menaruh syak kepada kelompok radikal Action Direct. Akan tetapi, pada awal 1984 sejumlah lukisan juga pernah dicuri dari sebuah museum di luar Paris, yang berkat info seorang penadah berhasil ditemukan kembali di Jepang, yaitu di dalam tangan Shuinichi Fujikuma, seorang gangster. Yang ternyata juga menjadi otak perampokan Marmottan tadi. Buktinya, sebelum aksi Marmottan berlangsung dia sempat mengedarkan katalog sembilan lukisan yang tidak lama kemudian raib itu.

Pembatasan jangka waktu (statute of limitation) Jepang terkenal singkat dan kabar angin santer beredar bahwa mafia Jepang Yakuza telah berhasil menembus dunia seni. Namun, kenyataannya tidaklah sedahsyat itu.

Pada 1978, Fujikuma ditahan di Prancis karena kedapatan menyelundupkan 7,8 kilogram heroin. Pada saat menjalani hukuman lima tahun penjara dia berkenalan dengan Philippe Jamin dan Youssef Khimoun, dua anggota sindikat pencuri seni. Merekalah yang lantas menjalankan aksi pencurian itu atas nama Fujikuma. Pada akhirnya, lukisan-lukisan ditemukan kembali pada 1991 di Korsika. Barangnya terlalu panas, bahkan untuk Jepang.

4. Meksiko: Desember 1985

Artefak pra-Columbus.
Terlena.
Malam Natal. Satpam Museum Nasional Antropologi di Kota Meksiko delapan-delapannya tengah lena. Selain itu, sistem alarm sudah tiga tahun mati.

Satpam sif pagi, yang masuk pukul 08.00 pada keesokan harinya, yang pada akhirnya menyadari bahwa lempeng kaca telah diangkat dari atas tujuh lemari pajangan. Total 140 benda yang diambil, termasuk potongan-potongan batu giok dan emas dari seni pahat Maya, Aztec, Zapotec, dan Miztec. Kurator museum Felipe Solis memprakirakan bahwa, seandai ada pembeli, satu potongan itu saja––sebuah jambang menyerupai monyet––bisa laku di atas $ 20 juta.

Karena sebagian besar potongan tersebut berukuran kecil, semuanya muat di dalam dua buah koper. Terlepas dari ukuran, kasus itu tetap terhitung sebagai pencurian benda berharga terbesar yang pernah terjadi.

Pelajaran yang dipetik: (i) tingkat keamanan museum nasional, terutama di negara berkembang, sering tidak sebanding dengan isi museum dan (ii) pada saat Natal dan Tahun Baru ternyata tidak semua orang sedang berleha-leha di Meksiko.

5. Amerika Serikat: Februari 1988

'Ikan Pari dengan Keranjang Bawang Bombai' karya Chardin.
Koleksi awur.
Pembobolan Colnaghi’s (sebuah diler seni di London) cabang Manhattan yang berlokasi pada East 8th Street, terbilang cukup canggih. Pencurinya masuk lewat tingkap cahaya dan dengan bantuan tambang menurunkan diri sampai ke bawah. Akan tetapi, begitu di dalam, koleksi karya seni pilihan mereka berkesan agak mengawur walaupun dari ke-28 karya yang mereka bawa pergi dua adalah lukisan karya Fra Angelico––yang diasuransikan sebesar $ 4 juta–– dan satunya lagi adalah Ikan Pari dengan Keranjang Bawang Bombai karya Chardin. Hingga kini baru empat belas yang berhasil ditemukan kembali.

Barang gedoran itu (waktu itu) ditaksir bernilai antara $ 6 juta dan $ 10 juta, yang menjadikan aksi tersebut perampokan seni terbesar kota New York: bukti bahwa keuntungan dari merampok galeri swasta bisa menyamai perampokan museum.

Bagian kedua tulisan di atas dapat dibaca di sini.


Novel 'Palsu' karya Elvin Post.
Palsu
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar